Lulusan S-1 yang Kompetitifkah?????

11:54 PM

SEKITAR 15-20 tahun yang lalu, lulusan Strata 1 (S-1) dapat dipastikan bisa memperoleh pekerjaan yang enak dengan cepat. Enak di sini maksudnya mendapatkan jabatan dan gaji yang baik. Namun, sekarang keadaan berubah. Tidak sedikit lulusan sarjana yang menganggur karena tidak mendapat pekerjaan dan tidak bisa membuka usaha sendiri. Untuk menutupi kenyataan menganggur, beberapa penganggur mencoba melucu dengan mengatakan bekerja di perumtel, kependekan dari penunggu rumah dan telenovela. Menganggurnya
lulusan S-1 tidak saja akibat kondisi di luar, tetapi juga akibat kondisidari dalam diri lulusan S-1 itu. Banyak mahasiswa yang tidak menyiapkan diri dan mentalnya selama kuliah sehingga ketika lulus tidak tahu ke arah mana harus melangkah.


Sesungguhnya apa yang dipikirkan para lulusan SMU ketika memasuki bangku kuliah dan bidang studi yang dipilihnya? Menjadi tukang insinyur seperti si Doel anak sekolahan? Lalu, ke mana setelah itu? Apakah di benak mereka terpikirkan 3 K: Kuliah, kerja, kawin? Lulus kuliah, mencari pekerjaan,kemudian menikah, dan seterusnya?

Apakah para mahasiswa itu terkungkung dalam situasi dunianya sendiri tanpa melihat dunia di luarnya seperti adanya pasar global yang dinamis dan menuntut daya saing sangat kompetitif? Siapkan mereka menyambut pasar bebas ASEAN (AFTA) tahun 2010(kalo ini bnran terjadi tp kan kenyataanya lum jadi ta)? Pedulikah mereka pada pengakuan kualitas kelulusan mereka oleh negara lain yang sangat penting untuk persaingan global dan pasar bebas? Pedulikah mereka pada posisi sumber daya manusia (SDM) Indonesia di antara SDM bangsa lain?

Nah...kalo inget ini:
KETIKA lulusan SMU menapaki perkuliahannya, mereka dihadapkan pada dunia dewasa awal, situasi dan tuntutan harapan akademis yang berbeda dari masa SMU. Menurut Pangesti Wiedarti, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta yang juga mahasiswa S-3 The University of Sydney, institusi perguruan tinggi wajib menciptakan kesiapan mental belajar di perguruan tinggi dan daya saing positif mahasiswa.

"Hal ini sebaiknya dilakukan pada masa orientasi studi, baik di jenjang fakultas maupun jurusan. Pada saat yang sama, orientasi karier juga harus diberikan. Dengan mengetahui gambaran masa depan dan karier yang
menjanjikan, mahasiswa akan termotivasi belajar, mencetak prestasi, dandiharapkan lulus tepat waktu," kata Pangesti.

Selain mempunyai motivasi belajar, mahasiswa juga memerlukan keseimbangan kecerdasan intelektual, emosi, dan spritual. Mahasiswa dengan kemampuan intelektual tinggi, tetapi tidak disertai kecerdasan emosi akan membuat mahasiswa putus asa ketika menemukan masalah selama menempuh studi. "Tidak perlu masalah itu datang dari luar, misalnya biaya studi yang tidak mencukupi. Masalah internal yang berkaitan dengan pengelolaan diri sendiri saja bisa menjadi masalah. Contohnya, tidak mampu menguasai materi kuliah atau hubungan dengan dosen yang tidak harmonis," ujar Pangesti.

Seseorang yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi tidak selalu memiliki
kecerdasan emosi-spiritual tinggi. Contoh yang amat sederhana, seorang
mahasiswa belum tentu mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tempat
dia tinggal. Pindah pondokan saja membuat dia kesulitan karena berganti
kamar, suasana, dan teman sepondokan. Ini persoalan amat sepele bagi
mahasiswa lain, tetapi tidak bagi mahasiswa tertentu. "Maka, ketika
mahasiswa demikian dihadapkan pada persoalan lebih serius yang berkaitan
dengan studi dan pergaulan, bisa jadi dia tidak bertahan," tandas Pangesti.

Mahasiswa yang gagal kuliah belum tentu dapat dikategorikan bodoh, melainkan
mungkin ada hal salah yang perlu dicari dan dibantu penyelesaiannya.
"Masalahnya, apa mungkin dosen yang sibuk berpikir ke sini? Apakah hal
demikian diberi porsi tersendiri selama proses belajar mengajar di jurusan
berlangsung?" tanya Pangesti.

Emosi dan spiritual berkaitan sangat erat. Seorang mahasiswa dengan
kecerdasan spiritual kuat pada umumnya mampu mengontrol emosinya. Dia akan
berpikir masalah yang dihadapi adalah ujian dari-Nya, dan selalu ada
hikmahnya. Dengan pikiran yang optimis seperti ini, dia akan tabah
menghadapi berbagai hal selama masa studi.

Hal penting lain yang perlu diingatkan pada mahasiswa adalah memahami
kata-kata bijak, "Berbahagialah jika Anda tahu bahwa Anda tidak tahu". Jika
mahasiswa sadar dirinya tidak tahu, mereka akan belajar apa saja untuk
menjadi tahu.

Menurut Ati Sri Kusumawati, sarjana Sastra Cina Universitas Indonesia (UI)
yang sedang mengambil program S-2 Antropologi UI, mengatakan, dirinya bisa
memperoleh indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,28 karena setiap hari belajar.
"Sastra merupakan sesuatu yang baru buat saya karena saya anak IPA.
Kekhawatiran tidak bisa menguasai sastra dengan baik, mendorong saya untuk
belajar. Selain itu, selama masa SMU saya terbiasa belajar setiap hari walau
tidak ada ujian. Kebiasaan ini yang membantu saya mencerna materi kuliah,"
kata Ati.

Menurut Ati, malasnya mahasiswa mengulang materi kuliah di rumah karena
mereka sudah dianggap dewasa oleh lingkungan. "Padahal, tidak semua
mahasiswa punya kesadaran sendiri untuk belajar. Semasa di SMU, disiplin
untuk belajar sangat ditekankan sekolah dengan ulangan harian. Setelah
kuliah, tidak ada dosen yang memberikan kuis tentang materi sebelumnya. Yang
ada hanya ujian tengah semester dan akhir semester. Jadi sebenarnya ini
masalah mental," ujar Ati.


Kalo sekarang kita:
MAHASISWA dengan keseimbangan kecerdasan dan pribadi bijak yang tahu dirinya
tidak tahu, serta selalu berpikir positif akan kurang berarti jika tanpa
disertai kepandaian mengelola waktu selama masa studi. Ungkapan time is
money harus dipahami sebagai membiarkan waktu terbuang percuma tanpa
kegiatan, akan membuat kehilangan kesempatan melakukan banyak hal, dan itu
merugikan diri sendiri. "Perlu diingat, keberhasilan mahasiswa di negara
maju adalah mereka tahu menghargai waktu, kapan bekerja keras dan kapan
menikmati kehidupan kemahasiswaan dan masa muda mereka," kata Pangesti.

Cara sederhana yang bisa membantu mahasiswa mengelola waktu adalah selalu
menuliskan rencana hariannya dan disiplin terhadap rencana tersebut. Pada
malam harinya, mahasiswa dapat melihat kegiatan bermanfaat yang telah
dilakukannya dalam sehari, kemudian dalam seminggu, dan seterusnya.

"Dengan demikian, mahasiswa dapat mengukur diri sendiri, tertib belajar dan
berkarya atau tidak. Berapa banyak waktu yang dilewatkan tanpa berbuat
sesuatu yang berarti, dan itu merugikan diri sendiri dan orangtua yang telah
menghabiskan banyak uang untuk biaya kuliah. Jika mereka bisa mendisiplinkan
diri dengan nilai-nilai di atas, niscaya mereka akan menjadi lulusan S-1
yang kompetitif dan patut diperhitungkan," ujar Pangesti.

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/30/keluarga/lulu21.htm

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe